Tradisi Gebug Ende merupakan ritual pemanggilan hujan yang biasanya digelar antara bulan Oktober dan Desember, namun demikian tentu perlu moment yang tepat karena hanya dipentaskan dalam waktu-waktu tertentu.
Tradisi ini dilakukan oleh warga Desa Seraya Karangasem Bali. Desa Seraya sendiri terletak di disebuah dataran tinggi, dimana kondisi geografisnya akan cenderung terlihat tanahnya tandus dan kering pada musim kemarau panjang. Bagi masyarakat Desa Seraya kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Mereka juga ingin merasakan guyuran hujan meski mereka berada pada daerah kering. Mereka tidak tenang dengan keadaan seperti itu sehingga mereka melakukan rapat untuk menjalankan suatu tradisi yang sakral yang bisa mengatasi kemarau untuk menurunkan hujan. Hasil dari rapat desa yang mereka lakukan, terciptalah ide untuk melaksanakan ritual yang bernama “Gebug Ende”. Tradisi ini sudah berjalan secara turun temurun dan menjadi kepercayaan bagi masyarakat setempat.
Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya. Gebug Ende berasal dari kata “Gebug” dan “Ende”, Gebug berarti memukul dan Ende berarti alat yang digunakan untuk menangkis (tameng). Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang sekitar1,5-2 meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan kemudian dianyam berbentuk lingkaran. Sebelum mereka memulai ritual ini, mereka mengawali dengan persembahyangan dengan berbagi banten (sesajen), kemudian dilanjutkan dengan adu ketangkasan. Teknik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis. Tradisi ini biasanya dipermainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang, dan mereka akan mencoba menangkis pukulan yang diterima. Kedua pria yang bertarung ini akan saling menyerang, sesekali mereka akan menunjukkan gerakan tari seperti memanasi atau menantang lawan dan kembali menyerang, adu ketangkasan ini dibatasi dengan tongkat pembatas sehingga masing-masing pihak tidak diperbolehkan masuk ke daerah lawan. Tradisi ini dipimpin oleh seorang wasit yang dinamakan “Saye” dan ia akan memberikan instruksi bagian mana yang boleh diserang, tidak boleh memukul dari bawah pinggang sampai kaki. Mereka yang bermain tidak menggunakan baju sehingga tongkat kayu akan langsung mengenai tubuh mereka. Ritual akan lebih baik jika diantara mereka ada yang terluka dan meneteskan darah, darah itulah yang membuat akan cepat turun hujan.
Konon Zaman dahulu warga Desa Seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk menggempur atau menyerang sebuah Kerajaan di Lombok Barat yaitu Kerajaan Seleparang. Karena pada waktu itu orang-orang asli seraya bertubuh kebal sehingga Kerajaan Seleparang takluk terhadap Kerajaan Karangasem. Belum puas berperang meghadapi musuh dan semangat kesatria masih berkobar, maka mereka bertarunglah dengan teman-temannya sendiri saling memukul dan menangkis dengan alat yang dibawa. Seiring perkembangan zaman maka terciptalah tarian Gebug Ende. Tarian ini juga digunakan sebagai ritual untuk memohon turunnya hujan. Bagi kalian yang penasaran dengan tradisi ini maupun tradisi unik yang lainnya di Bali anda bisa berkunjung ke Bali dan menyaksikannya langsung