Perang Pandan (mekare-kare) atau Megeret pandan di Karang Asem Bali

Admin Wisata Bali

Bali memang salah satu pulau Indonesia, dimana pulau Bali ini kerap dijuluki dengan sebutan Pulau Dewata, karena pulau ini  memiliki banyak pura dan memiliki daya tarik mistis yang begitu memukau, yang menjadi daya tarik wisata di Bali adalah budaya nya yang unik dan menarik.

Megeret Pandan Bali

Masyarakat Bali memang selalu melestarikan budaya yang ditinggalkan oleh leluhur mereka sehingga budaya-budaya warisan tersebut masih melekat erat dan dipegang teguh oleh masyarakat Bali . Ya, tradisionalisme dan relijiusme masyarakat lokal di Bali justru menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan Wisatawan, baik Wisatawan Domestik maupun Wisatawan Mancanegara yang justru ingin lebih mengetahui dan mengenali berbagai jenis budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh pulau Dewata ini sehingga tidak heran lagi apabila segala aspek atau yang bersangkutan dengan keagamaan dan budaya masyarakat lokal di Bali selalu mampu menarik perhatian kalangan Wisatawan, terutama Wisatawan Asing yang berasal dari negara-negara maju karena di negara mereka mungkin jarang mereka temui atraksi budaya maupun keagamaan seperti yang ada di Bali. Nah, tahukah Anda salah satu budaya yang masih berkembang dan dilestarikan hingga saat ini oleh masyarakat lokal di Bali? Ya, sebut saja Megeret Pandan (Perang Pandan). Megeret Pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Bali  dimana Megeret Pandan merupakan persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (Dewa Perang) dan para Leluhur. Perang Pandan ini juga biasa disebut dengan mekare-kare. Upacara perang pandan ini diadakan di Desa Tenganan, Karangasem Bali yang letaknya kurang lebih 70 Km sebelah timur Kota Denpasar. Mengapa Megeret Pandan? Ya, Mari kita simak Sejarahnya. Konon  menurut cerita, pada Zaman dahulu kawasan Desa Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja yang bernama Maya Denawa yang kejam. Ia bahkan menjadikan dirinya sebagi Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Mendengar hal itu, Para Dewa di surga pun murka lalu para Dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan Maya Denawa dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima Perang / pemimpin pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan banyak memakan korban, akhirnya Maya Denawa pun dapat terkalahkan. Nah dari situlah peperangan antara Dewa Indra dan Maya Denawa kini diperingati oleh masyarakat Desa Tenganan dengan upacara Megeret Pandan dan masyarakat Desa Tenganan juga  mempercayai bahwa Dewa Indra adalah Dewa dari segala Dewa, dan menurut cerita sejarah nya Desa Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur Desa Tenganan, sementara umat hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa (sebagai Dewa tertinggi).  Bagaimana pelaksanaan Megeret Pandan itu ? Ya, Mari kita lihat.

Perang Pandan di Bali

Megeret Pandan (perang pandan) ini dilakukan setiap satu tahun sekali yaitu pada bulan kelima atau sasih kelima dalam penanggalan Desa Adat Tenganan. Ritual perang pandan ini berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut hingga selesai selama tiga jam. Upacara perang pandan ini biasanya dilakukan di Desa Tenganan tepatnya di depan balai pertemuan Desa Adat Tenganan. Dalam perang pandan ini perlengkapan yang digunakan yaitu pandan berduri sebagai senjata perang. Dimana pandan berduri yang digunakan adalah pandan yang sudah diikat sehingga berbentuk seperti gada. Perlengkapan yang perlu disiapkan juga adalah panggung yang berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi, dengan tinggi sekitar 1 meter tanpa tali pengaman mengelilinginya. Untuk Peserta perang pandan juga dianjurkan untuk membawa sebuah tameng. Tameng tersebut digunakan untuk melindungi diri dari serangan lawan. Tameng yang digunakan pada perang itu terbuat dari rotan yang dianyam. Pada pelaksanaan Perang pandan biasanya akan di iringi oleh musik gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yag disucikan. Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh menyentuh tanah. Untuk pelaksanaan perang pandan ini biasanya dilakukan oleh pemuda Desa Tenganan dan luar Desa Tenganan. Pemuda yang berasal dari dalam berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan pemuda dari luar desa akan sebagai pendukung. Anak-anak yang yang sudah mulai beranjak dewasa juga boleh ikut serta dalam upacara megeret pandan ini. Upacara ini juga dapat menjadi simbol untuk seorang anak yang sudah beranjak dewasa. Peserta yang ikut dalam perang pandan ini biasanya akan memakai pakaian adat Tenganan yang bernama kain tenun pegringsingan. Para pria yang ikut biasanya hanya menggunakan sarung atau disebut kamen, selendang atau saput dan ikat kepala atau udeng. Para pria tersebut juga tidak menggunakan baju.

Pelaksanaan Upacara perang pandan akan didahului dengan mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada para Dewa. Setelah mengelilingi desa, upacara akan dilanjutkan dengan ritual minum tuak bersama. Tuak kemudian dikumpukan bersama dan dibuang disebelah panggung. Pemangku adat akan memberikan aba-aba tanda perang dimulai. Lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan ditangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan itu ditangan kiri mereka. Penengah layaknya seorang wasit akan berdiri diantara dua pemuda ini untuk memulai perang. Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu pun saling menyerang. Mereka pun saling memukuli punggung lawan menggunakan pandan dengan cara menggeretnya. Karna itulah ritual ini disebut megeret pandan. Peserta yang lain saling bersorak memberi semangat. Gamelan pun ditabuh dengan tempo yang cepat dan dua pemuda itu saling bersemangat untuk saling menggeret lawannya selama satu menit lalu bergantian dengan pasangan yang lain. Ya, meskipun tubuhnya terluka dan berdarah, para peserta pun tetap terlihat senang dan tidak ada dendam diantara mereka karena hal itu adalah salah satu ungkapan rasa syukur mereka dan cara mereka untuk menghormati Dewa Indra. Setelah perang selesai, peserta yang terluka akan di olesi ramuan tradisional yang terbuat dari kunyit. Acara selanjutnya akan dilanjutkan dengan melakukan upacara persembahyangan di Pura setempat dengan di lengkapi dengan persembahan tari Rejang. Nah, merupakan tradisi yang unik bukan? Ya, tentu  saja. Dan  bagi Anda yang masih penasaran dengan tradisi ini, Anda bisa berkunjung ke Bali untuk menyaksikannya langsung. Dan jika Anda ingin mengenali dan menambah pengetahuan Anda mengenai tradisi dan budaya, Anda bisa temukan itu di Bali,  karena Bali mampu menampilkan berbagai macam ke indahan dan ke unikan suatu tradisi dan budaya. So, let’s come to Bali ya guys…

Tradisi Mekare-kare

Bagikan:

Artikel Terkait